top of page

Bukan Sebuah Momen, Tapi Berkesan

  • Writer: Nanda Aulia Rachman
    Nanda Aulia Rachman
  • Nov 6, 2016
  • 3 min read

Sebagai permulaan, gua akan coba merangkum apa yang sedang terjadi saat ini. Semester Genap di tahun 2016 ini mungkin salah satu masa masa yang paling menjengahkan dalam hidup gua (untuk sementara ini, dalam 21 tahun dalam hidup gua,)

Segala tuntutan dan kewajiban jadi satu padu, mulai dari ayah dan ibu yang makin hari semakin tak sabar melihat anaknya pakai toga awal tahun depan, tanggung jawab untuk menyokong Olimpiade UI (this serves its own post, wait for it), part time gua yang gajelas tapi menggiurkan, tugas yang seakan memberatkan WK, sampai isu lama soal diri dan pribadi.

5 November, gua memutuskan untuk melenyapkan diri dari dunia. Pelarian itu berujung ke sebuah hutan pinus di bilangan Lembang, Bandung. Bukan tanpa alasan dan tujuan, di tempat itu memang sedang diadakan sebuah festival musik. Katanya sih the first international forest festival . Nah i am not gonna write about its fanciness nor its messiness. Ya intinya gua mendaki gunung menuruni lembah untuk mencapai hutan ini, notabene karena gua yang orang jauh (re: bogor)

Bersama Mirza dan pasangannya Agri, gua berangkat dari Sukajadi sekitar pukul 12.00. Cuaca mendung Bandung memang cocok buat mereka, tapi sayang, waktunya tak pas. Mobil putih dengan ban yang diperbesar kami kendarai mendaki curamnya Dago Pakar dan Ciumbeuleuit. Trek itu dipilih mengingat jalan Setiabudi yang pastinya digandrungi para pelancong untuk menuju Lembang.

Obrolan basa basi dan pengetahuan sekilas pemusik yang akan tampil menghiasi perjalanan kami, setidaknya sampai Lembang. Wah, menuju Cikole, kami ditemui oleh hujan badai dan kawan sejawat yang ingin "berpesta pora" bersama kami. Gua ga habis pikir, betapa kaum muda (berasa tua) bisa kemakan dengan stereotip yang digambarkan media (disini penyelenggara). Pakaian heboh, warna warni dan serba minim tak jarang kami temui. Pikirlah, daerah dataran tinggi, musim hujan, mau jadi apa kalian?

Yak itulah gambaran omongan gua Mirza dan Agri untuk sisa perjalanan ke Cikole. Setelah memarkir mobil (terimakasih terhadap basa sunda!) kami bergegas menuju ke lokasi yang jaraknya kurang lebih 1 Km.

Memasuki hutan pinus itu, gua tertakjub. This is gonna be great. Bukan karena gua yang orangnya gampang takjub dan butuh pelarian, tapi this is feels like Glastonbury KW 99 kalo kata Aldo. Walaupun becek karena hujan deras, tetapi "the sacredness and the holiness of pine forest mixed with awesome music festival" as am i quoting from the event's page. Yah mayan lah. Berkeliling lah kami menikmati sakralnya pesta ini

Ohiya soal Aldo. Siapa Aldo? Dia teman gua yang baru saja berteman dan dia membawa seorang kekasih bernama Vania, yang tidak disangka adalah teman Agri.Wah dunia sempit ya. He is a great photo and videographer. check out his work (Aldo Oktasio)

Yah macam performance arts juga banyak,

Atau macam kostum nyentrik dan nyentil

Tak lupa mengambil gambar ciamik

Well, how about the music and the party? Nah semua terlalu berantakan. Penampilan diundur hampir 2 jam sehingga banyak musisi yang di skip, akses untuk berkeliling yang tak memadai seiring malam menjelang. Wah lautan manusia yang kegemilangan dan cantiknya telah luntur oleh hujan, lumpur dan keringat.

Tetapi, ketika Steve dkk naik keatas panggung pada jam 22.30, rasa lelah hilang. Penantian yang sesuai. Well Kodaline is one of my top playlist. Their music has given me such a new approach and flavor in my musiclopedia HWHW.

Yah, karena keterbatasan waktu, gua akan mengakhiri tulisan ini. Intinya, gua sangat bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menonton mereka secara langsung. That was the most intense live music performance that i have ever been attend to in my live so far!


Comments


RSS Feed
bottom of page